Minggu, 29 Maret 2015

Makalah Hukum Laut Internasional


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Berdasarkan unclos 1982 indonesia merupakan Negara kepulauan .Indonesia memiliki laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan berbagai potensi sumberdaya, terutama perikanan laut yang cukup besar.Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas dan kurang terjaga sehingga mudah mendatangkan ancaman sengketa batas wilayah dengan negara tetangga. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai dengan kedalaman 200 meter. Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis dasar lurus dan perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis dasar laut.

Hal tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya aktifitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia, Khususnya di laut territorial. peningkatan intensitas pelayaran, sebagian diantaranya kapal barang dan penangkap ikan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan laut. Selain itu Indonesia masih banyak mengalami sengketa perbatasan dengan Negara tetangga. Untuk itu diperlukan peraturan yang baku mengenai hukum laut Indonesia khususnya dilaut territorial yang sering dilalui oleh kapal asing dan banyak menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan negara tetangga. kurang seriusnya pemerintah dalam meyelesaikan sengketa perbatasan mengenai laut territorial telah banyak menyebabkan lepasnya wilayah laut territorial dari pangkuan Negara indonesia. selain itu kurangnya pengawasan terhadap laut territorial diwilayah Indonesia telah banyak menyebabkan hilangnya kekayaan alam yangterkandung didalamnya terutama potensi perikanan yang banyak dicuri nelayan asing.Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai laut territorial sehingga pengelolaan dan pengawasan terhadap laut territorial benar benar bejalan optimal.

Laut teritorial atau perairan teritorial (Territorial sea) adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya; sedangkan bagi suatu negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, dan Filipina, laut teritorial meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya perairan kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut teritorial pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan menurut ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea), lebar sabuk perairan pesisir ini dapat diperpanjang paling banyak dua belas mil laut (22,224 km) dari garis dasar (baseline-sea).

Zona Ekonomi Eksklusif didefinisikan sebagai suatu wilayah laut diluar laut teritorial, dimana negara-negara pantai memiliki kedaulatan atas semua sumber daya alam didalamnya. Zona ini berada pada 200 mil dari garis pangkal laut teritorial. Sekiranya lebar laut teritorial 12 mil, maka sebenarnya lebar zona ekonomi eksklusif adalah 200 mil - 12 mil = 188 mil

1.2  Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan ZEE di indonesia ?
2. Bagaimana penentuan batas luar dan lebarnya  ZEE ?
3. Bagaimana Delimitasi terhadap zona ekonomi eksklusif ?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Perkembangan ZEE di Indonesia

Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Seriakt “Harry S. Truman” telah mengeluarkan suatu proklamasi No. 2667, ‘Policy of the United States with respect to the Natural Resources of the Subsoil and Seabed of the Continental Shelf”.

Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah suatu perkembangan dalam hukum Laut yakni pengertian geologi “continental shelf” atau daratan  kontinen. Tindakan Presiden Amerika serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. 

Hal tersebut sesuai dengan isi dari proklamasi tersebut yang pada pokoknya adalah : Sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh  negara pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah daripada wilayah daratan dan bagaimanapun juga usaha-usaha untuk mengelola kekayaan alam yang terdapat didalamnya memerlukan kerjasama dan perlindungan dari pantai. Dengan demikian maka demi keamanan penguasaaan sember daya alam yang terdapat dari dalam continental shelf, seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan yang bersangkutan”.

Tindakan sepihak Amerika Serikat mengenai landas Kontinen dan perikanan sebagaimana disebutkan di atas, berpengaruh terhadap perkembangan rezim hukum ZEE 200 mil tersebut. Hal ini terbukti bahwa negara-negara Amerika Latin dalam mengajukan tuntutan mereka telah mengemukakan beberapa argumentasi yang bertujuan untuk melindungi sumber-sumber kekayaan alam yang banyak terdapat diperairan sejauh 200 mil, termasuk dasar laut dan tanah di abwahnya. Argentina menunjukkan teori “Epi Continental Sea”, kemudian Ekuador, Chili dan Peru mengemukakan teori “Bloma”, yang selanjutnya diikuti oleh negaranegara Amerika Latin lainnya, yakni Meksiko (1946), Honduras (1950), Costa Rica (1950), El Salvador (1950).

Sebagai tindak lanjut dari tuntutan negara-negara Amerika Latin maka pada tahun 1952 lahirlah suatu deklarasi baru yakni “Deklarasi Santiago” yang ditandatangani oleh Negara-Negara : Chili, Ekuador dan Peru: sebagai motivasi utama tuntutan ketiga Negara peserta deklarasi Santiago ini adalah pelaksanaan jurisdiksi ekslusif terhadap sumber-sumber kekayaan alam (daya hayati maupun non hayati) yang terdapat diperairannya yang sejauh 200 mil laut. Sumber-sumber mana sangat bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan di  negara-negara peserta deklarasi tersebut.

Selanjutnya Winston C.E. menjelaskan bahwa dalam lingkaran sejauh 200 mil itu hak-hak lintas damai (innocent passage) tidak terganggu (inoffensive) dan tetap diakui sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan klaim beberapa negara mengenai ZEE 200 mil laut ini, PBB telah menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut (UNCLOS) 1 tahun 1958 UNCLOS II tahun 1960 di Jenewa, terutama bertujuan untuk menetapkan lebar laut wilayah, namun usaha PBB tersebut ternyata gagal. Kegagalan ini mengakibatkan meluasnya praktek Negara-negara dalam mengklaim kedaulatan mereka di laut yang berbatasan dengan pantainya. Termasuk klaim yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini berkembang (meluas) sekitar tahun 1960-1970, terutama yang mengklaim jurisdiksi 200 mil dan tidak terbatas hanay pada Nnegara-negara Amerika Latin saja, melainkan juga meluas sampai pada negara-negara asia Afrika.

Menurut Winston C.E., walaupun Negara-negara seperti Benin, Brazilia, Ekuador, Guinea, panama, Peru, Siera Leone dan Somalia tetap mengklaim jurisdiksi 200 mil laut sebagai laut wilayah,  negara-negara seperti: Argentina, Bangladesh, Chili, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, India, Iceland, Meksiko, Nicaragua, Uruguay dan Amerika serikat mengajukan klaim mereka yang sejalan dan selaras  dengan tuntunan yang telah diajukan oleh Negara-negara peserta deklarasi Santiago tahun 1952 (Chili, Ekuador, Peru). Perlu dijelaskan dalam studi ini bahwa dalam perkembangannya, delegasi Kenya secara resmi telah mengajukan usul  draft article yang mengatur tentang ZEE dalam persidangan Seabed Committee 18 Agustus 1972, yang selanjutnya dimasukkan dalam List of Subjects and Issues dan dibahas dalam UNCLOS III 1974.

Ternyata diantara  negara-negara yang mengklaim yurisdiksi laut 200 mil tersebut mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda tentang apa yang telah dideklarasikan sebelumnya. Hal ini terbukti dengan terjadinya perdebatan sengit diantara negara-negara peserta UNCLOS III, masing-masing negara dengan gigih mempertahankan kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu. Perdebatan dimaksud merupakan bagian laut bebas, ataukah memiliki rezimhukum spesifik.

Dalam hal ini  negara-negara maritim yang kuat, seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Jepang dan Jerman Barat bersitegang dengan pendapatnya bahwa ZEE 200 mil harus merupakan laut bebas dengan ketentuan :
  1. Negara-negara pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya.
  2. Kebebasan lautan, termasuk kebebasan menggunakannya untuk kepentingan militer, tetap terjamin bagi semua bangsa.

Sedangkan Negara-negara pantai terutama negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 dengan gigih pula tetap mempertahankan pendapatnya bahwa konsep ZEE merupakan suara konsepsi suigeneris yang memiliki rezim khusus mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negaranya. Dengan demikian  negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 dengan tetap menentang dipertahankannya status laut bebas bagi ZEE, walaupun mengakui beberapa kebebasan dilaut lepas dengan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diperinci secara jelas dan tegas.

Menurut Hasjim Djalal dalam bukunya “Perjuangan Indonesia dibidang Hukum Laut”. Meyatakan bahwa,  negara-negara tak berpantai (landlocked States) dan negar-negara secara geografis tidak beruntung (geographically disadvantaged States) menuntut hak-hak yang sama dengan  negara-negara pantai, tidak saja dibidang perikanan tetapi juga terhadap sumber-sumber kekayaan laut lainnya di dasar laut.

Namun  negara-negara pantai hanya bersedia memberikan surplus perikanan yang tidak dapat diambil oleh  negara-negara pantai, dalam hal ini negara-negara yang tergolong landlocked dan geographically disanvantage yang mendasarkan tuntutan mereka atas dasar prinsip “common heritage of mankind” yang mengklaim hak yang sama dengan negara-negara pantai untuk mengambil kekayaan alam di ZEE tersebut. Sebagai ilustrasi disini, negara-negara tak berpantai dan secara geografis tidak beruntung misalnya Singapura, Nepal, dan Zambia, sedangkan ketiga lainnya yang termasuk dalam ketegori “distant”

Penyelesaian yang selalu menjadi tujuan  hukum pada akhirnya perbedaan dan pertentangan pendapat yang pada mulanya tegang itu, dengan jalan perundingan dan mufakat kemudian dapat dipertemukan, sehingga perjuangan mengenai rezim hukum ZEE 200 mil akhirnay dapat dirumuskan, kepentingan semua pihak dapat dapat ditampung tanpa saling merugikan. ZEE 200 mil  dengan demikian tidak dikualifikasikan sebagai laut bebas dan tidak pula sebagai laut wilayah, namun sebagai suatu rezim sul generis, yang diartikan ZEE mempunyai ketentuan hukum sendiri.

Kemudian setelah mengalami amandemen-amandemen dalam  Informal Single Negotiating Text (INST) dan  Revised Singel Negotiating Text (RSNT), ketentuan-ketentuan mengenai ZEE 200 mil dimuat dalam pasal 55-75 Bab V Informal Composite Negotiating Text. (ICNT). Menlu RI  Mochtar Kusumaatmadja, dalam penjelasannya mengenai Pengumuman Pemerintah tentang ZEE Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980, telah menegaskan bahwa walaupun ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam bab V ICNT ini belum berhasil diresmikan menjadi suatu konvensi Hukum Laut Internasional, dengan makin banyaknya negara-negara yang mengumumkan ZEE 200 mil, maka rezim  itu melalui proses pembentukan hukum kebiasaan internasional, dewasa ini telah menjadi Hukum Laut Internasional yang abru, Konvensi Hukum laut III ini telah ditandatangani di Montego Bay, Jamaika tanggal 10 Desember 1982.

2.2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

zona ekonomi ekslusif adalah pengaturan baru yang ditetapkan oleh konvensi hukum laut 1982. Sebelum perang dunia ke II dikenal beberapa perjanjian internasional yang mengatur batas-batas perairan antara negara seperti perjanjian perbatasan Norwegia-swedia tahun 1909 dan perjanjian perbatasan Inggris-Venezuela 1942 tentang perbatasan di teluk paria antara Trinidad dan Amerika Selatan.

Kemudian proklamasi Presiden Truman tanggal 28 September 1945 membuka lembaran baru bagi negara-negara untuk melakukan klaim atas laut territorial , landas kontinen, zona keamanan dan zona perikanan. Diantara negara-negara tersebut tercatat negara-negara Latin Amerika yang mengadakan klaim 200 mil laut territorial, yaitu negara-negara Peru, Equador, Chili, Panama dan Brazil. Negara-negara lain ingin mengadakan zona ekonomi eksklusif atau zona sumber-sumber kekayaan alam seluas 200 mil, dimana pada zona tersebut negara-negara pantai mempunyai hak kedaulatan atas sumber-sumber yang dapat diperbaharui dari dasar laut dan perairan di atasnya.

Kelompok negara-negara ini ialah Colombia, Mexico, Venezuela dan negara-negara Karibi lainya. Zona ekonomi ini disebut juga sebagai Patrimonial sea kelompok negara-negara ini mengadakan konperensi tentang masalah lautan di santo Domingo tahun 1972 dimana mereka mengkoordinir kebijaksanaan tentang zona sumber-sumber kekayaan alam dan menghasilkan Deklarasi Santo Domingo, yang kemudian diserahkan kepada Komite Dasar Laut PBB (United Nations Seabed Committee).

Di samping itu terdapat pula negara-negara yang menginginkan tepian kontinennya memanjang diluar 200 mil. Dalam kelompok ini termasuk India, Norwegia, Argentina, Australia, Canada, Brazil dan New Zealand. Disini terlihat keinginan negara-negara pantai untuk secara unilateral mengadakan berbagai macam klaim melalui perundang-undangan nasional atas laut teritorial dan zona maritim lainnya semakin bertambah banyak. Sebelum tahun 1970 sebanyak 34 negara-negara pantai mengadakan klaim 3 mil laut teritorial dan 47 lainnya melakukan klaim seluas 12 mil. Menjelang Juni 1974 sebanyak 54 negara mengadakan klaim 12 mil, dan 9 negara melakukan klaim atas 200 mil laut teritorial. Hal-hal tersebut diatas menunjukkan bahwa perubahan-perubahan di bidang politik, ekonomi, dan teknologi dari negara-negara pantai dan maritim perwujudannya tidak mungkin lagi ditampung oleh landasan Konvensi-konvensi Jenewa 1958.

Perkembangan zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) mencerminkan kebiasaan internasional (international customs) yang diterima menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law) karena sudah terpenuhi dua syarat penting, yaitu praktik negara-negara (state practice) dan opinio juris sive necessitatis. Zona ekonomi eksklusif bagi negara berkembang seperti Indonesia adalah vital karena di dalamnya terdapat kekayaan sumber daya alam hayati dan nonhayati, sehingga mempuyai peranan sangat penting bagi pembangunan ekonomi bangsa dan Negara.

Zona ekonomi eksklusif adalah daerah di luar dan berdamping dengan laut territorial yang tunduk pada rejim hukum khusus di mana terdapat hak-hak dan jurisdiksi Negara pantai, hak dan kebebasan Negara lain yang diatur oleh Konvensi[26] sedangkan dalam undang-undang No 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif disebutkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang  yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

Lebar zona ekonomi eksklusif bagi setiap Negara pantai adalah 200 mil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 57 Konvensi yang berbunyi Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebat laut territorial di ukur.  Indonesia merupakan negara pantai mempunyai hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban di zona ekonomi eksklusif karena sudah terikat oleh Konvensi Hukum Laut 1985 dengan UU No. 17/1985. Hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban Indonesia pada Konvensi tersebut sudah ditentukan oleh Pasal 56 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai
  • a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi ekonomi eksklusif zona tersebut, seperti produksi energy dari air, arus dan angin
  • b) Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan konvensi ini berkenaan dengan :
             - Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan
             - Riset ilmiah kelautan
             - Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
             - Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam konvensi ini

2. Didalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajiban berdasarkan konvensi ini dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini.

3. Hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah dibawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan bab VI.

Di zona ekonomi eksklusif setiap Negara pantai seperti Indonesia ini mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengelola sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati di perairannya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta untuk keperluan ekonomi di zona tersebut seperti produksi energi dari air, arus, dan angin.

Sedangkan jurisdiksi Indonesia di zona itu adalah jurisdiksi membuat dan menggunakan pulau buatan, instalasi, dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dalam melaksanakan hak berdaulat dan jurisdiksinya di zona ekonomi eksklusif itu, Indonesia harus memperhatikan hak dan kewajiban Negara lain. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kewajiban menetapkan batas-batas zona ekonomi eksklusif Indonesia dengan negara tetangga berdasarkan perjanjian, pembuatan peta dan koordinat geografis serta menyampaikan salinannya ke Sekretaris Jenderal PBB.

Hak dan kewajiban negara lain di zona ekonomi eksklusif diatur oleh Pasal 58 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu sebagai berikut:

1. Di zona ekonomi eksklusif, semua negara, baik negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan konvensi ini, kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kebel dan pipa bawah laut yang disebutkan dalam pasal 87 dan penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kebel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini.

2. Pasal 88 sampai pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku diterapkan bagi zona ekonomi eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan bab ini.

3. Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajiban berdasarkan konvensi ini dizona ekonomi eksklusif, negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini.

Di zona ekonomi eksklusif Indonesia, semua Negara baik Negara pantai maupun tidak berpantai mempunyai hak kebebasan pelayaran dan penerbangan, kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut dan penggunaan sah lainnya menurut hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasan tersebut, Negara lain harus menghormati peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai negara pantai yang mempunyai zona ekonomi eksklusif tersebut

Negara pantai dapat menegakan peraturan perundang-undangannya sebagaimana di cantumkan dalam pasal 73 yaitu:
1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini. 

2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainya

3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainya

4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera memberitahukan kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan

Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini adalah pengadilan negeri yang  daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang-orang. 
      
d. Pengaruh dan praktek perundang-undangan di Indonesia

Indonesia sudah mengadopsi ketentuan zona ekonomi eksklusif sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 55-75 Konvensi Hukum Laut 1982. Ketentuan tersebut terdapat dalam implementing legislation, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta kewajiban-kewajiban yang sudah dilakukan oleh Indonesia yaitu: Undang-Undang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1984 tentang Penggunaan Sumber Daya Alam di Zona Ekonomi Eksklusif. Namun Indonesia belum menetapkan batas terluar ZEE Indonesia dalam suatu peta yang disertai koordinat dari titik - titiknya dan belum melakukan perjanjian bilateral mengenai zona ekonomi eksklusif dengan negara tetangga seperti: India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Fhilipina, Papau, Papua Nugini dan Timor Leste.

2.3 Batas luar dan  Lebarnya zona ekonomi eksklusif

Angka yang dikemukakan mengenai lebarnya zona ekonomi eksklusif adalah 200 mil atau 370,4 km. kelihatannya angka ini tidak menimbulkan kesukaran dan dapat diterima oleh negara-negara berkembang dan negara-negara maju.semenjak dikemukakannya gagasan zona ekonomi, angka 200 mil dari garis pangkal sudah menjadi pegangan.sekiranya lebar laut wilayah 12 mil sudah diterima, seperti kenyataannya sekarang ini, sebenarnya lebar zona ekonomi eksklusif adalah 200-12 = 188 mil. Sebagaimana telah dikemukakan hak-hak negara pantai atas kedua laut tersebut berbeda yaitu kedaulatan penuh atas laut wilayah(teritorial) dan hak-hak berdaulat atas zona ekonomi untuk tujuan eksploitasi sumber kekayaan yang terdapat di daerah laut tersebut.

Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut territorial. Zona batas luas tidak boleh melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai territorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak akan memilih mengurangi wilayah ZEEnya kurang dari 200 mil, karena kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan sejarah dan politik : 200 mil tidak memiliki geographis umum, ekologis dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak di klaim oleh negara pantai adalah 200 mil, diklaim negara-negara amerika latin dan Afrika. Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200 mil dipilih sebagai batas luar jadi pertanyaan.

Menurut Prof. Hollick, figure 200 mil dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku termotifasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas pantainya. Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil, tapi disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan. Dan contoh yang paling menjanjikan muncul dalam perlindungan zona adalah diadopsi dari Deklarasi Panama 1939. Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil, padahal faktanya luasnya beranekaragam dan tidak lebih dari 300 mil.

3.4 Delimitasi Zona Ekonomi Ekslusif

Mengingat ZEE yang merupakan zona baru,dalam penerapannya oleh negara-negara menimbulkan situasi bahwa  negara-negara yang berhadapan atau berdampingan yang jarak pantainya kurang dari 200 mil laut harus melakukan suatu delimitasi (batasan) ZEE satu sama lain.seperti halnya delimitasi batas landas kontinen,prinsip hukum delimitasi ZEE diatur dalam pasal 74 konvensi hukum laut 1982.rumusan pasal ini secara mutatis mutandis sama dengan pasal 83 tentang delimitasi landas kontinen.

Sebelum zona ini lahir, negara-negara pada umumnya mengenal konsepsi zona perikanan sehingga perjanjian yang dibuat adalah perjanjian batas zona perikanan pula.perjanjian batas ZEE antar negara berdasarkan konvensi hukum laut 1982 masih belum begitu banyak.Indonesia baru menetapkan perjanjian ZEE hanya dengan australia melalui perjajian antara pemerintah republik Indonesia dengan pemerintah Australia tentang penetapan batas Zona Ekonomi Ekssklusif dan batas-batas dasar laut tertentu yang ditandatangani di Perth, pada tanggal 14 Maret 1997. Indonesia masih harus membuat perjanjian ZEE dengan seluruh negara yang berbatasan laut dengan Indonesia kecuali Australia.


BAB III
KESIMPULAN

* Zona Ekonomi Eksklusif didefinisikan sebagai suatu wilayah laut diluar laut teritorial, dimana negara-negara pantai memiliki kedaulatan atas semua sumber daya alam didalamnya. Zona ini berada pada 200 mil dari garis pangkal laut teritorial. Sekiranya lebar laut teritorial 12 mil, maka sebenarnya lebar zona ekonomi eksklusif adalah 200 mil - 12 mil = 188 mil.

* Zona ekonomi ekslusif adalah pengaturan baru yang ditetapkan oleh konvensi hukum laut 1982. Sebelum perang dunia ke II dikenal beberapa perjanjian internasional yang mengatur batas-batas perairan antara negara seperti perjanjian perbatasan Norwegia-swedia tahun 1909 dan perjanjian perbatasan Inggris-Venezuela 1942 tentang perbatasan di teluk paria antara Trinidad dan Amerika Selatan.

* Hak dan kewajiban negara lain di zona ekonomi eksklusif diatur oleh Pasal 58 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu sebagai berikut:
a. Di zona ekonomi eksklusif, semua negara, baik negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan konvensi ini, kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kebel dan pipa bawah laut yang disebutkan dalam pasal 87 dan penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kebel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini.

b. Pasal 88 sampai pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku diterapkan bagi zona ekonomi eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan bab ini.

c. Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajiban berdasarkan konvensi ini dizona ekonomi eksklusif, negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini      


Daftar Pustaka


·         Chairul Anwar. Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982

·          
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...